Mencintai dan Menggunakan Bahasa Indonesia

Sebagai bangsa, kita sudah sepakat memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Sejak dicetuskan pada 2 Mei 1926 dalam Kongres Pemuda I, dan kemudian “disumpahkan” pada 28 Oktober 1928, bahasa Indonesia kemudian jatuh-bangun menjadi bahasa komunikasi di seantero nusantara. Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi, juga bahasa pergaulan sehari-hari. Di Jakarta orang berbahasa Indonesia, di Ternate pejabat berpidato dengan bahasa Indonesia. Tua-muda pun berbahasa Indonesia.

Oleh negara, bahasa Indonesia ini kemudian dikawal sedemikian rupa supaya semakin merata dan memenuhi kaidah berbahasa. Ada proses pembakuan yang sistematis digulirkan. Hasilnya berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), Tesaurus Bahasa Indonesia, dan rujukan-rujukan berbahasa Indonesia lainnya, baik keluaran instansi pemerintah seperti Pusat Bahasa, maupun besutan linguis partikelir.

Sampai kini pun belum sempurna benar. Masih banyak cacat bahasa di sana-sini yang tak kunjung dilinguisterapi (linguisterapi: terapi berbahasa). Ambil contoh soal ‘k-p-t-s’ yang luruh-tidaknya saat bersetubuh dengan awalan ‘me-‘ masih riuh bergemuruh. Ada yang bilang seluruhnya luruh, ada yang sahut khusus serapan dari bahasa asing saja yang luruh.

Ups, padahal hanya sekira 20% bahasa Indonesia yang digunakan sekarang benar-benar asli.

Ups lagi, padahal mana ada bahasa asli Indonesia? Indonesia saja tercipta belum lama, ya seumur deklarasi pemuda itu, kok mau mengklaim bahasa asli-serapan. Seperti bahasa Ibrani, bahasa Indonesia adalah bahasa yang sebelumnya belum ada ketika kemudian dipakai sebagai bahasa resmi sebuah negara.

Lalu mau menyebut bahasa serapan? Banyak serapan yang belum ajur-ajer benar. Picingkan mata ke kata-kata ini: standar-standardisasi; objek-subjek-proyek. Ck ck ck, inkonsistensi itu masih jadi sariawan di lidah kita.

Meninggalkan Bahasa Indonesia?
Tentu saja tidak. Jangan biarkan bahasa ini mati muda. Biarlah penggunanya yang mati muda, memudar, sedangkan bahasanya memuda.

Semangat inilah yang disiangi oleh Forum Bahasa Media Massa (FBMM), yakni semangat untuk semakin mencintai bahasa Indonesia sebagai bahasa tutur dan tulis. Mencintai di mulut, mencintai di tangan. Berbicara dalam bahasa Indonesia, beraksara dalam bahasa Indonesia pula.

Zainal Arifin menegaskan semangat ini dalam kunjungan FBMM Daerah Istimewa Yogyakarta di kantor Penerbit Galangpress Group, siang ini. Menurut ketua forum yang sehari-hari bekerja di TVRI ini, peran FBMM adalah mengkampanyekan gerakan mencintai dan menggunakan bahasa Indonesia. Beranggotakan jurnalis, editor, dan pekerja media yang bergelut di ranah bahasa, FBMM hendak menjadi wadah pengembangan bahasa, baik bahasa nasional maupun bahasa lokal, baik bahasa lisan maupun bahasa tulisan.

“Dan FBMM tidak berpretensi menjadi polisi bahasa,” sergah P Ari Subagyo, ketua bidang penelitian dan pengembangan pada kepengurusan periode 2009-2012 ini. Lanjut Ari yang bekerja sebagai linguis di Universitas Sanata Dharma ini, meski di FBMM ada anggota yang menghendaki forum ini berperan sebagai polisi bahasa, namun fungsi kreasi berbahasa juga sebaiknya mendapatkan tempat. “Kajian bahasa bukan bersifat normatif, namun agar bahasa berkembang,” tandasnya.

Dengan pandangan seperti itu, bahasa Indonesia yang oleh beberapa kalangan diperjuangkan betul kebakuannya tidak akan membeku. Sebab, kebakuan berbahasa lewat bahasa tulis berpotensi menjauhkan kita dari orisinalitas berpikir kreatif. Dan ujungnya, bahasa Indonesia akan menjadi momok bagi penggunanya sendiri. Kalau ini terjadi, kekhawatiran Ari bisa semakin menyata, yakni terus merosotnya tradisi berpikir di masyarakat akibat rendahnya minat baca dan menulis.

Maka, peran FBMM yang juga mewadahi praktisi-praktisi usil, yakni praktisi yang selalu gatal mengeksplorasi dan mencoba-coba bahasa, bukan hanya memunculkan bahasa baru, melainkan memperkayanya. Banyak misteri bahasa, karenanya, yang bisa dibongkar forum.

Bertemu Penerbit Galangpress Group, irisan sinergi pun terbentuk. Sebagai praktisi bahasa, yang kerap bereksperimen dengan kekuatan frasa seperti “membongkar”, “menodong”, “kupas tuntas”, “cara pintar”, “kedahsyatan”, dll, Galangpress membutuhkan teman berdiskusi yang mencerahkan. Frasa-frasa itu sudah teruji “laku” dibeli masyarakat pembaca. Dengan bergandeng tangan, Galangpress dan praktisi bahasa lain bisa membidani lahirnya kata-frasa-idiom baru yang selama ini belum ada atau tertimbun lemak kemalasan bercas-cis-cus.

Dalam jangka panjang, sinergi berupa workshop, seminar, dan ajang pelatihan lain, juga bakal menggairahkan dunia kepenulisan yang kini miskin penulis. “Jangan sampai kita impor penulis,” tukas Julius Felicianus, Direktur Galangpress saat menyambut FBMM. Julius tidak mengada-ada melontarkan ancaman ini. Ia menyodorkan fakta, jumlah judul buku di Indonesia baru di kisaran 20.000 judul per tahun. Jika satu orang penulis produktif mengerami lebih dari 1 judul buku, dan sebagian buku lainnya adalah karya penulis luar yang diterjemahkan, maka jumlah penulis kita tidak sampai 5 (lima) persen dari total penduduk Indonesia. “Padahal,” Julius memunculkan fakta lain, “50% buku yang kami terbitkan ditulis oleh tim redaksi.” Wow, potret buruk!

Jogja, 26 Januari 2010
AA Kunto A
[aakuntoa@gmail.com; http://www.aakuntoa.wordpress.com]

::: Selamat kepada Penerbit Kanisius yang hari ini berulang tahun ke-88 :::

Workshop Film Dokumenter Bersama Fajar Nugros

gaya fajar nugros. foto: wahyu sigit

gaya fajar nugros. foto: wahyu sigit

Orang muda gudangnya kreativitas. Pada mereka, imajinasi masih telanjang, belum dibalut benang-benang norma yang membelenggu. Mereka masih liar, masih banyak ruang kosong. Mereka, sebagai anak zaman, punya cara sendiri untuk mengisi ruang itu.

Film dokumenter adalah salah satu tuturan yang mereka pilih. Media ini mereka pilih untuk merekam zamannya. Sebagai mata. Sebagai telinga. Sebagai hati.

Semangat itulah yang mewarnai workshop Cara Pinter Bikin Film Dokumenter di SMA Albertus, Dempo, Malang, Sabtu (3/10). Bekerja sama dengan Penerbit Indonesia Cerdas (Galangpress Group), workshop ini diikuti oleh 120 siswa kelas IPS. Fajar Nugroho, yang populer dengan nama Fajar Nugros, penulis buku dengan judul yang sama dengan tema acara, langsung hadir membimbing para siswa.

Nugros, yang mengawali karir sebagai sutradara film dokumenter secara otodidak sejak kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, menemani para siswa untuk mengenal lebih dalam seluk-beluk perfilmdokumentarian. Ada 3 bagian yang ia sampaikan: pemahaman dasar film dokumenter, pemutaran film “Manusia Setengah Dewa”, dan pengenalan tentang kamera.

peserta melimpah. foto: wahyu sigit

peserta melimpah. foto: wahyu sigit

Di antara materi yang ia sampaikan, hal pokok yang menjadi penegasan Nugros adalah tentang betapa ide itu begitu mahal, plus betapa penting melakukan riset. “Proses pembuatan film dokumenter sangat ditentukan oleh kematangan bagian ini. Soal kamera ntar deh, itu gampang. Tapi perencanaan dan riset itu yang utama. Sehingga, misalnya bicara soal budgeting, semua terencana. Tidak ada yang tak terencana,” sutradara yang sering bekerja sama dengan sutradara Ayat-Ayat Cinta Hanung Bramantyo ini.

Menanggapi pancingan tersebut, antusiasme siswa sangat luar biasa. Sejak awal, gairah mereka untuk terlibat dalam pelatihan langsung terasa. Nugros, saat jeda makan, mengamini ini. “Anaknya pinter-pinter,” pujinya. Ide-ide pun bersahutan. Ada yang datar, ada yang serius, ada yang lucu, ada yang horor. Selain karena pinter, seluruh siswa memang sudah membeli dan membaca buku yang ditulis Nugros.

aa kunto a membuka acara. foto: wahyu sigit

aa kunto a membuka acara. foto: wahyu sigit

Salah satu tema horor yang mereka lontarkan adalah “lorong berdarah”. Tema ini muncul berdasarkan cerita-cerita mistik yang berseliweran di sekolah.

Ini faktanya. Di sebuah lorong yang menghubungan sekolah dengan pastoran,  terdapat ubin kuning yang ternoda bercak-bercak merah. Mirip darah. Persis di balik pintu masuk menuju pastoran. Bukan di jalan umum, sebagaimana tertera di tulisan samping pintu. Toh, ceritanya  sudah seperti menjadi milik umum.

Konon, bercak darah itu tidak bisa dihilangkan. Bahkan, ketika ubin tersebut diganti dengan yang baru, ubin yang semula bersih pun akan kembali ternoda darah. Bercak merah di atas ubin kuning.

Tak ada penjelasan resmi tentang cerita ini. Maka, ide “lorong berdarah” ini untuk merekam penjelasan-penjelasan dari pihak-pihak yang bisa dikutip pernyataannya.

Nugros membantu siswa mempertajam ide ini. Lewat pembuatan story line, Nugros menunjukkan bagaimana ide ini bisa menjadi film dokumenter yang kuat, tak sekadar menjadi film horor.

“Yang perlu dicatat, kekuatan film dokumenter ada pada FAKTA dan MOMENTUM. Latihannya adalah kalau ada kejadian-kejadian unik di sekitar kita rekam saja. Suatu saat bisa berguna. Sebab, momentum itu mahal, nggak bisa diulang,” tandas Nugros. “Dan, film dokumenter adalah pesan untuk masa depan,” simpulnya. [aaka/03102009]

Aparat Minta Jatah Parcel

Pasang status di facebook: barusan dapet telp dr seorang aparat hukum yg dulu membredel buku kami, “saya baca di koran, galangpress menyediakan parcel buku ya. ada jatah buat pimpinan kami kan?” NGGAK!!!

6 hours ago · Comment · Like / Unlike Alma Rahendra, Kawier Szabbo, Rosalin Kristiani and 9 others like this.

Dhison Vorenandri Dhison Vorenandri wrong answer pak : ada cukup di tebus seharga 1jt maaf he he he

Maria Noviati Ika Maria Noviati Ika haree gene…?

Kristupa Saragih Kristupa Saragih jatahnya buat pimpinan majalah Exposure aja

Johanes Koen Johanes Koen Kun, banyak uang-uang berhamburan dalam kuitansi-kuitansi palsu hanya untuk urusan dengan aparat. Institusi dan birokrasi di negeri ini belum bersih benar. Apa yang kau paparkan di atas kita sama-sama tahu hanya secuil kecil dari sebongkah besar kebusukan

Dodi Sarjana minta diSUAPi ya..

Bowo Nurcahyo Bowo Nurcahyo wakakakakak…….

Helena Fransisca kekekekeke…..hooh, setuju kuwi…tegas banget….bener-bener….

Sony Set aparat minta jatah buku? Kemajuan…! bravo…salut…eh tapi buku apaan? Bukan Kho Phing Hoo kan?

Indra Bayu Purnomo Sidhi huahahaha……jadi pengen ketemu aparat itu,Kun..

Papa Tan Den Kunto, ning kuwi dudu pejabat Indonesia to? Mesthi lah … !!! Huahahahaha… Huahahahaha…

Agung Arya kasih wae kun.. buku pelajaran PMP, buku tuntunan aklak, opo buku cara cepat mati…

Emmy Kuswandari Geli habizzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzz……..Pejabat Mojopahit.

Hasto Abdi lha mbok diwenei ben rondo terpelajar sitik 5 hours ago

Purwani Diyah Prabandari kasih kun..pelajaran PMP. masih ada gak gak sih…ato kalo udha cetak, buku pelajaran anti korupsi

Fitria Debora ngguyu nganti meh tiba saka kursi aku …. wakakakakak ….

Niecken Dwi Hapsari daripada kasih buku mending kasih cermin aj.. biar ngilo ya mas..

Maftuhah Hamid stock jatah habis; stock yg dijual masih byk. silakan aparat pilih paket mana yg Anda disukai?

Agustinus Danardono kasih paket Darah AB wae..

Herry Gendut Janarto Breidel pipi kiri, berikan juga pipi yang kanan. Jadi, jangan dendem-dendem amatlah.

Taufik Yudhoyono Wirawan Wah … pimpinannya sudah sadar baca nih…..

Antonius Sigit Suryanto aparat nggragas…

Antonius Wahyu hehe… maju terus Galangpress…

Maftuhah Hamid jatahnya tinggal: Perkelaian Pelajar dan Tadarus Kehidupan

Pambudi Edi gek wes tobat 😀

Antonius Sigit Suryanto tambahi buku pacarku ibu kosku, penembak misterius,dibungkus nganggo ciduk wae…

Alfa Anindito Pratomo Kasih aja. Beri mereka buku2 mengenai pendidikan moral dan etika. Semoga mereka menjadi manusia bermoral….:d

Paulus Danang Yanri Hatmoko Kun, buntelana tai kucing dicampur tai-mu nganggo godong gedang, terus wadahi kardus bekas indomie bungkus karo kertas kado sing apik, terus kirimana nang omahe… ngono looo… iki meguru karo Kang Bram perihal ilmu tai dadi emas…

Krismariana Widyaningsih hahaha… mesakne, buku wae njaluk jatah gratisan… ora entuk THR po yo?

Alma Rahendra gak tau malu…

Sita Ardani Perwitasari hehehehe…ning dudu bojoku to ‘Gung…;-p

HendraNyoen Gagap GuLita . . . . .wkwkwk. . . . . Jan RAI TANPO DENGKUL!!!!

Henry Raymond Itu logika kekuasaan om. keluar dari situ ANDA TIDAK LOGIS. NGERTI TIDAK

Dian Prasasti mas kunto, bilang aja parcel dah habis.kalo bungkusnya masih ada. MAU….?!?

Aldi Jaw ijeh dendam

Devi Indriasari Whahaha… Ups..gak bole su’udzon yak?!? Sapa tau dah insap.. Di kasi aja.. Maksude di kasi tau aja dmana bs beli parcel bukunya Galangpress.. Hwakakakakk…

Anastasya Dina Setyowati kagak ade….

Parcel Buku Lebaran

pesan di 0274-554985 atau galangpress@jmn.net.id

pesan di 0274-554985 atau galangpress@jmn.net.id

Tradisi berkirim parcel seperti sudah melekat di sejumlah kalangan di Indonesia. Parcel menjadi tanda perhatian, tanda kedekatan, juga tanda penghormatan. Maka, orang berkirim parcel untuk sahabat, orangtua, dan relasi bisnis. Mereka berkirim di hari-hari raya, di hari ulang tahun, atau di hari-hari istimewa tertentu.

Parcel seperti sudah menjadi medium komunikasi yang khas. Satu paket parcel seperti mewakili ucapan “selamat ya”, “i love u”, “semoga bisnis Anda lancar”, “aku sahabatmu di kala suka dan duka”, “kami mendukung mimpi-mimpi perusahaan Anda”, dan masih banyak lagi. Maka, isi parcel pun beraneka ragam. Ada buah, kue kaleng, minuman ringan, sembako, dan banyak lagi. Umumnya parcel berisi barang konsumsi.

Galangpress sangat memahami tradisi ini. Parcel adalah salah satu kekayaan simbol masyarakat kita. Dan simbol-simbol itu telah disepakati sebagai sebentuk ungkapan yang tak terkatakan, namun meninggalkan kesan mendalam.

fresh from the oven. begitu ada pesanan, langsung diracikin. (foto: antarafoto.com)

fresh from the oven. begitu ada pesanan, langsung diracikin. (foto: antarafoto.com/dom/regina safri)

wakil direktur galangpress, ida prastiowati, sedang diwawancarai Indosiar, ANTV, dan Antara tentang parcel buku lebaran

wakil direktur galangpress, ida prastiowati, sedang diwawancarai Indosiar, ANTV, dan Antara tentang parcel buku lebaran

Melihat itu semua, Galangpress berinisiatif untuk menciptakan kreasi baru dalam berparcel. Ya, parcel buku. Sebagai penerbit, kami berpendapat bahwa buku merupakan bingkisan sangat istimewa. Selain mencerdaskan, buku adalah simbol keabadian–bukankah ini esensi dari persahabatan? Jika parcel lain akan habis dalam sekejap karena disantap dan diminum, parcel buku tak akan pernah habis meski dikudapi banyak orang. Buku adalah simbol kelanggengan hubungan. Maka, barang siapa hendak mengungkapkan pesan kelanggengan ini di Hari Lebaran, parcel buku adalah pilihan tepat. Usai bermaaf-maafan, dalam ruang batin yang fitri, hubungan baru yang lebih bersih akan lebih kekal.

Untuk pemesanan dan informasi, silakan hubungi Penerbit Galangpress di 0274-554985 atau galangpress@jmn.net.id. Harga spesial.[aaka/080909]

Buku untuk Korban Gempa Tasikmalaya

wakil direktur galangpress, ibu ida prastiowati, melepas mobil pembawa sumbangan buku

wakil direktur galangpress, ibu ida prastiowati, melepas mobil pembawa sumbangan buku

Bencana alam hampir selalu menghancurkan. Betapa pun secara fisik utuh, atau hanya sedikit rusak, namun bagi yang mengalaminya sama saja. Mereka akan merasa bahwa apa yang mereka miliki hilang. Inilah kehancuran psikis yang hampir selalu menimpa para korban bencana.

Demikian pula terhadap korban bencana gempa bumi yang menggetarkan sisi selatan Pulau Jawa pada 2 September lalu. Gempa berkekuatan 7,3 skala Richter dan berpusat di 142 kilometer barat daya Tasikmalaya, Jawa Barat, itu menghancurkan korban di mana-mana. Lebih dari 50 orang dilaporkan tewas, dan puluhan ribu rumah hancur. Kini, mereka bermukim di tenda-tenda dan tempat pengungsian lainnya. Baik anak-anak maupun orang dewasa berkumpul jadi satu.

Atas situasi seperti ini, Penerbit Galangpress Group bekerja sama dengan SOS Kinderdorf mengirimkan bantuan 2.500 buku ke wilayah bencana. Bantuan ini dimaksudkan untuk membangkitkan semangat para korban agar mereka tetap optimis pada masa depan. Buku adalah harapan, sebab di sana terbentang pengetahuan. Dengan membaca buku, para korban akan termotivasi untuk bangkit dari keterpurukan.

Berdasarkan pengalaman Galangpress pada peristiwa gempa bumi yang meluluhlantakkan Jogja dan Klaten pada 27 Mei 2006, pada hari-hari sesudah bencana, para korban selalu terhanyut dalam suasana duka yang mendalam, sesal yang menyanyat-nyayat karena tidak mampu menyelamatkan saudara, dan bayangan akan hari esok yang suram. Oleh karena itu, buku kami hadirkan untuk menjaga keseimbangan perasaan dan pikiran para korban, bahwa usai nestapa dan balada ini pasti akan ada suka cita. Dan suka cita itu ada pada buku-buku yang kami bawa.

Buat sahabat korban gempa di Tasikmalaya dan sekitarnya, tetaplah tegar. Mari bangkit bersama. Doa kami untuk Anda semua.

Menggali Manfaat Puasa

jadwal talkshow

jadwal talkshow

Begitu banyak manfaat puasa. Secara fisik menyehatkan. Secara ekonomis menghemat pembelanjaan. Secara spiritual menenteramkan rohani. Demikian kurang lebih simpulan dari Parade Diskusi Buku Kedahsyatan Puasa (Pustaka Marwa, 2009) bersama penulis M. Syukron Maksum yang digelar di Semarang dan Yogyakarta.

Diskusi buku ini persembahan Penerbit Pustaka Marwa selama bulan Ramadhan. Selain diselenggarakan di TB Gramedia, diskusi ini juga diadakan di kampus dan pondok pesantren. Antusiasme publik begitu besar. Selain hadir sebagai pendengar, mereka juga memborong buku ke-7 karya mahasiswa jurusan Pendidikan Matematika UIN Sunan Kalijaga ini. Alhasil, buku ini menorehkan catatan sebagai buku laris. Hanya dalam 2 pekan sejak penerbitannya, buku praktis ini mengalami cetak ulang.

Wajar saja jika pembaca menyukai buku ini. Selain praktis, karena tidak banyak mengulas teori-teori puasa, buku ini juga menghadirkan contoh konkret dari orang-orang yang menjalankan ibadah puasa. Ilmuwan besar seperti Michaelangello, Sokrates, dan Plato, disebutkan oleh Syukron, sudah menjalankan puasa jauh waktu sebelum agama memerintahkan. Mereka berpuasa atas kehendak mereka sendiri. Maka, cara berpuasa pun mereka yang menentukan.

AA Kunto A (kiri, moderator) dan M Syukron Maksum (penulis)

AA Kunto A (kiri, moderator) dan M Syukron Maksum (penulis) di TB Gramedia Malioboro Mall Jogja

suasana diskusi di TB Gramedia Sudirman Jogja

suasana diskusi di TB Gramedia Sudirman Jogja

Di samping tokoh besar, Syukron juga menghadirkan contoh dari orang-orang di sekitarnya. Intan, teman kuliahnya, contohnya. Menurut suami dari Irma yang baru sebulan menikah ini, Intan adalah contoh yang tepat untuk menggambarkan manfaat puasa. Intan seorang yang penyabar. Dalam situasi terdesak seperti apa pun, Intan selalu berhasil mengatasinya dengan kesabaran yang luar biasa. Usut punya usut, ternyata Intan menjalankan puasa Senin-Kamis.

Secara fisik, katanya, puasa juga berdampak positif bagi kesehatan. Puasa mengontrol pola makan. Jika pada saat biasa pola makan bisa sesukanya, maka pada saat puasa ada pembatasan. “Makanan itu baik bagi tubuh, sekaligus racun. Maka, puasa itu seperti turun mesin. Tubuh disegarkan,” ujar lelaki 24 tahun ini sembari menguraikan manfaat puasa-puasa sunnah di luar puasa Ramadhan.

Talkshow Kedahsyatan Puasa

talkshow di TB Gramedia Sudirman Yogyakarta

talkshow di TB Gramedia Malioboro Mall Yogyakarta

Penulis: M. Syukron Maksum

Penerbit: Pustaka Marwa, Yogyakarta

Ukuran: 130 x 200 mm, 148 halaman

Terbit: Cetakan I, 2009

Harga: Rp 22.000

Parade Talkshow Ramadhan “Kedahsyatan Puasa”:

  1. Selasa, 25 Agustus, pk 15.00-18.00, di TB Gramedia Pandanaran, Semarang
  2. Rabu, 26 Agustus, pk. 15.00-18.00, lesehan di Kampus UIN Sunan Kalijaga, Jogja
  3. Rabu, 26 Agustus, pk. 19.30-21.30, on air di Radio Pro2 102.5FM Jogja
  4. Selasa, 1 September, on air di Radio Female 103.7FM Jogja
  5. Rabu, 2 September, pk. 19.30-21.30, on air di Radio Pro2 102.5FM Jogja
  6. Kamis, 3 September, pk. 15.30-18.00, di TB Gramedia Sudirman, Jogja
  7. Jumat, 4 September, pk. 15.30-18.00, di TB Gramedia Malioboro Mall, Jogja

Sinopsis buku

Kedahsyatan Puasa

Jadikan Hidup Penuh Berkah

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 183).

Puasa adalah perisai. Puasa melindungi diri dari kejelekan dunia dan siksa akhirat. Banyak rahasia yang terkandung dari ibadah puasa, baik yang wajib maupun sunnah. Di antara rahasia yang terkandung adalah puasa dapat menguatkan jiwa, mendidik kemauan, menyehatkan badan, mengenal nilai kenikmatan, dan merasakan penderitaan orang lain. Selayaknya kita melakukan amalan-amalan yang terbaik saat berpuasa.. Dan orang yang bbisa merasakan manfaatnya tentu saja bagi mereka yang melaksanakannya dengan ikhlas, sungguh-sungguh dan istiqamah, dengan satu titik tekan utama, demi mendapatkan ridha dari Allah Swt. sehingga dapat meningkatkan derajat takwa serta menjadi manusia yang fitrah.

Buku Kedahsyatan Puasa – Jadikan Hidup Penuh Berkah ini mengungkap rahasia besar di balik puasa dan memberikan resep-resep tentang amalan apa yang harus dijalankan, agar dapat menemukan hakikat puasa yang sesungguhnya. Puasa yang penuh berkah. Bukan puasa yang sia-sia, yang hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja.

Dalam buku ini bukan hanya membahas tentang puasa Ramadhan.. Namun, dengan lengkap dibahas juga tentang puasa-puasa sunnah, seperti puasa Senin Kamis, puasa hari-hari Putih, puasa Muharram, puasa Sya’ban, puasa Rajab, puasa Zulqa’dah dan Zulhijjah, puasa Arafah, puasa Syawal, puasa Dalail, dan puasa Daud. Dilengkapi juga dengan 30 doa mustajab untuk menambah khasana doa kita di hari-hari yang suci selama Ramadhan.

Dokter, profesi berat yang membahagiakan

Dokter Toto bersama editor The Doctor Noni Rosliyani

Dokter Toto bersama editor The Doctor Noni Rosliyani

Selalu menggairahkan berbincang-bincang soal kehidupan seorang dokter. Demikian pula perbincangan semalam.

“Tadi pagi saya bangun pukul 5.30. Ada 18 misscall di HP saya. Ah, rupanya saya ‘tidur mati’ sehingga tak terbangunkan oleh dering telepon. Maklum, saya baru pulang tengah malam. Pukul 6.30 saya sudah harus di rumah sakit hingga malam. Sebelum ke sini saja saya belum selesai menangani pasien. Namun terpaksa saya tinggal karena acara ini juga penting. Sesudah ini, saya kembali lagi ke rumah sakit,” papar dokter Triharnoto di hadapan pengunjung TB Gramedia Sudirman, Jogja.

Triharnoto, yang akrab dipanggil Toto, adalah dokter spesialis ilmu penyakit dalam (SpPD) yang sehari-hari bertugas di RS Panti Rapih Yogyakarta. Dan apa yang diceritakannya adalah aktivitas keseharian yang dilakoninya. Tidak Senin, tidak Minggu. Tidak ada warna merah di kalender hidupnya. Jam kerjanya pun tidak terbatas. Kerap, ia bekerja dari pagi sampai pagi.

“Orang sering melihat dokter ini enak, bersih, juga kaya. Mereka tidak melihat di balik itu semua, kehidupan dokter itu tidak normal. Sampai di rumah pun kadang-kadang masih ditelpon rumah sakit karena ada pasien yang membutuhkan penanganan cepat. Dan kami tidak boleh mengelak. Untuk pekerjaan seperti ini, tak pantaskah jika kami mendapatkan bayaran yang layak?” lanjut Toto.

Rm John, OMI: dokter Toto melibatkan pasien dlm mengambil keputusan. Saya beruntung menjadi pasiennya

Rm John, OMI: dokter Toto melibatkan pasien dlm mengambil keputusan. Saya beruntung menjadi pasiennya

Toto tidak sedang mengeluh. Ia mengaku bahagia dengan profesinya. Tak ada sedikit pun sesal di hatinya. Matanya tetap berbinar-binar. Duduknya tegak. Suaranya lantang.

Toto hanya sedang membagikan pengalaman betapa kompleks kehidupan seorang dokter. Ia bercerita dengan bangga, dengan nada yang selalu terjaga. Lewat cerita yang ia susun apik di buku The Doctor: Catatan Hati Seorang Dokter (Pustaka Anggrek, 2009), ia hendak berbicara dari hati ke hati tentang indahnya kehidupan di balik jas putih dan stetoskop. Ia berharap, masyarakat bisa lebih paham soal kehidupan dokter. Kepada koleganya pun ia wanti-wanti agar mereka juga makin belajar dari pasien. Maka, baik dokter maupun pasien mesti sama-sama belajar, sama-sama saling memahami.

“Di benak pasien, datang ke dokter itu membawa ekspektasi ingin sembuh. Sesederhana itu. Di benak mereka, mau diapain juga silakan asal sembuh,” ungkap Toto menempatkan posisi pasien di hadapan dokter. “Sedangkan, seorang dokter bekerja di bawah kendali medical science, yang segala sesuatu sudah ada prosedurnya. Apalagi, di Indonesia, kiblat ilmu kedokteran kita ke ‘barat’, yakni menuntut segala sesuatu ada alasannya,” terang Toto mengenai posisi dokter. “Inilah yang bikin nggak ketemu,” sergahnya. “Masing-masing dengan tujuannya sendiri-sendiri.”

Dengan buku ini, Toto berharap ada titik temu yang mendamaikan dokter dengan pasien. “Sebenarnya, dokter dan pasien itu memiliki tujuan yang satu dan sama, yakni kesembuhan. Perbedaan cara pandanglah yang menyebabkan keduanya selalu berada pada posisi yang berhadap-hadapan. Kita harus optimis bahwa keduanya bisa bertemu,” harap lulusan Fakultas Kedokteran UGM yang pernah studi di Scotland UK dan Australia ini. [aaka/10082009]

AA Kunto A memandu bincang-bincang dengan Dokter Toto

AA Kunto A memandu bincang-bincang dengan Dokter Toto

Drop Out Bukanlah Akhir dari Segalanya

mark billionaire

Ukuran buku: 15x23 cm,Harga: Rp 35.000,00, Best Publisher

Di lingkungan pergaulan kampusnya, predikat sebagai mahasiwa drop out mungkin masih melekat dalam diri Mark Zuckerberg. Si jenius Mark memutuskan berhenti kuliah dari fakultas psikologi Universitas Harvard untuk selanjutnya memilih menjadi teknopreneur. Sebuah keputusan berani tapi tidak nekad. Ia rela meninggalkan almamater yang memiliki reputasi dunia karena merasa sudah mampu membidani perusahaan raksasa. Perusahaan yang terbukti jadi trendsetter jejaring sosial yakni Facebook.

Mark tak mau mengandalkan kekayaan orang tuanya. Awalnya, Mark memodali perusahaan Facebook dari koceknya sendiri. Tentu saja, uang itu berasal dari tabungannya. Bersama beberapa teman dekat sesama penghuni asrama Kirkland, Mark menggalang modal patungan untuk membangun Facebook. Mark merintis Facebook sejak dia duduk di bangku kuliah. Ia bersedia mengurangi waktu tidurnya semata untuk membesarkan Facebook. Kerja kerasnya itu berbuah manis, meski dalam prosesnya mengalami fase jatuh bangun. Tak bisa disangkal, kesuksesan Facebook tak lepas dari kekuatan tekad, ambisi yang kuat ditambah kerja sama tim yang padu antara Mark dengan sahabat-sahabatnya. Lantaran berhasil menghimpun user dengan jumlah yang fantastis, Facebook pun dilirik investor kelas wahid, salah satunya Microsoft.

Mulanya, kantor Facebook hanya berupa rumah, tapi sekarang sudah berkantor di gedung yang megah. Sungguh mencengangkan, buah pencapaian Mark. Usia baru 25 tahun, tapi dia sudah dinobatkan sebagai milarder termuda sepanjang sejarah yang kekayaannya bukan dari warisan orang tua. Apa yang menjadi kunci sukses Mark hingga ia bisa kaya raya? Mark mengatakan kunci kesuksesannya adalah mencintai pekerjaan, jauhi zona nyaman, dan terus kreatif. Makanya, demi menyuburkan kreativitas, ia mendisain ruang kantor Facebook layaknya ruang bermain.

Ide-ide segar Mark Zuckerberg terurai jelas di buku The Dropout Billionaire. Di situlah, kita bisa tahu pola pikir, strategi bisnis Mark hingga intrik-intrik internal dan eksternal Facebook. Dengan membaca buku ini, siapa tahu mind set berpikir kita semakin hidup dan tak takut dalam berspekulasi. Perlu diingat, idealisme ala Mark merupakan investasi yang tak ternilai. Untuk itu, bukan tak mungkin dengan membaca buku ini, teknopreneur muda akan tumbuh subur di bumi Indonesia. Siapa tahu, tandingan Mark Zuckerberg akan muncul dari tanah air kita tercinta. Dan mahasiswa drop out sangat berpotensi  untuk menyabet peluang emas itu.

Dokter Lo Siaw Ging, Tak Sudi Berdagang

Sahabat Galangpress,
Artikel Kompas (15/7) ini sangat inspiratif. Sangat senafas dengan isi buku baru Penerbit Pustaka Anggrek (Galangpress Group) ini:
the Doctor-webJudul : THE DOCTOR – Catatan Hati Seorang DokterPenulis : Triharnoto

Pengantar: Prof Dr K Bertens (ahli etika kedokteran dan biomedis)

Ukuran : 15×23 cm, 324 hal. Harga : Rp 50.000,-

Rabu, 15 Juli 2009 | 03:32 WIB

Oleh Sonya Hellen Sinombor

Ketika biaya perawatan dokter dan rumah sakit semakin membubung tinggi, tidak ada yang berubah dari sosok Lo Siaw Ging, seorang dokter di Kota Solo, Jawa Tengah. Dia tetap merawat dan mengobati pasien tanpa menetapkan tarif, bahkan sebagian besar pasiennya justru tidak pernah dimintai bayaran.

Maka, tak heran kalau pasien-pasien Lo Siaw Ging tidak hanya warga Solo, tetapi juga mereka yang berasal dari Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Klaten, Boyolali, dan Wonogiri. Usianya yang sudah menjelang 75 tahun tak membuat pria itu menghentikan kesibukannya memeriksa para pasien.

Dokter Lo, panggilannya, setiap hari tetap melayani puluhan pasien yang datang ke tempatnya praktik sekaligus rumah tinggalnya di Jalan Jagalan 27, Kelurahan Jebres, Kota Solo. Mayoritas pasien Lo adalah keluarga tak mampu secara ekonomi. Mereka itu, jangankan membayar ongkos periksa, untuk menebus resep dokter Lo pun sering kali tak sanggup.

Namun, bagi Lo, semua itu dihadapinya dengan ”biasa saja”. Dia merasa dapat memahami kondisi sebagian pasiennya itu. Seorang pasiennya bercerita, karena terlalu sering berobat ke dokter Lo dan tak membayar, ia merasa tidak enak hati. Dia lalu bertanya berapa biaya pemeriksaan dan resep obatnya.

Mendengar pertanyaan si pasien, Lo malah balik bertanya, ”Memangnya kamu sudah punya uang banyak?”

Pasiennya yang lain, Yuli (30), warga Cemani, Sukoharjo, bercerita, dia juga tak pernah membayar saat memeriksakan diri. ”Saya pernah ngasih uang kepada Pak Dokter, tetapi enggak diterima,” ucapnya.

Kardiman (45), penjual bakso di samping rumah dokter Lo, mengatakan, para tetangga dan mereka yang tinggal di sekitar rumah dokter itu juga tak pernah diminta bayaran. ”Kami hanya bisa bilang terima kasih dokter, lalu ke luar ruang periksa,” katanya.

Cara kerja Lo itu membuat dia setiap bulan justru harus membayar tagihan dari apotek atas resep-resep yang diambil para pasiennya. Ini tak terhindarkan karena ada saja pasien yang benar-benar tak punya uang untuk menebus obat atau karena penyakitnya memerlukan obat segera, padahal si pasien tak membawa cukup uang.

Dalam kondisi seperti itu, biasanya setelah memeriksa dan menuliskan resep untuk sang pasien, Lo langsung meminta pasien dan keluarganya menebus obat ke apotek yang memang telah menjadi langganannya. Pasien atau keluarganya cukup membawa resep yang telah ditandatangani Lo, petugas di apotek akan memberikan obat yang diperlukan.

Pada setiap akhir bulan, barulah pihak apotek menagih harga obat tersebut kepada Lo. Berapa besar tagihannya? ”Bervariasi, dari ratusan ribu sampai Rp 10 juta per bulan.”

Bahkan, pasien tak mampu yang menderita sakit parah pun tanpa ragu dikirim Lo ke Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo. Dengan mengantongi surat dari dokter Lo, pasien biasanya diterima pihak rumah sakit, yang lalu membebankan biaya perawatan kepada Lo.

Kerusuhan 1998

Nama dokter Lo sebagai rujukan, terutama bagi kalangan warga tak mampu, relatif ”populer”. Namun, mantan Direktur RS Kasih Ibu ini justru tak suka pada publikasi. Beberapa kali dia menolak permintaan wawancara dari media.

”Enggak usahlah diberita-beritakan. Saya bukan siapa-siapa,” ujarnya.

Bagi Lo, apa yang dia lakukan selama ini sekadar membantu mereka yang tak mampu dan membutuhkan pertolongan dokter. ”Apa yang saya lakukan itu biasa dilakukan orang lain juga. Jadi, tak ada yang istimewa,” ujarnya.

Di kalangan warga Solo, terutama di sekitar tempat tinggalnya, Lo dikenal sebagai sosok yang selalu bersedia menolong siapa pun yang membutuhkan. Tak heran jika saat terjadi kerusuhan rasial di Solo pada Mei 1998, rumah dokter keturunan Tionghoa ini justru dijaga ketat oleh masyarakat setempat.

Lo juga tak merasa khawatir. Justru para tetangga yang meminta dia tidak membuka praktik pada masa kerusuhan itu mengingat situasinya rawan, terutama bagi warga keturunan Tionghoa. Namun, Lo menolak permintaan itu, dia tetap menerima pasien yang datang.

”Saya mengingatkan dokter, kenapa buka praktik. Wong suasananya kritis. Eh, saya yang malah dimarahi dokter. Katanya, dokter akan tetap buka praktik, kasihan sama orang yang sudah datang jauh-jauh mau berobat,” cerita Putut Hari Purwanto (46), warga Purwodiningratan, yang rumahnya tak jauh dari rumah Lo.

Bahkan, meski tentara datang ke rumah Lo untuk mengevakuasi dia ke tempat yang aman, Lo tetap menolak. Maka, wargalah yang kemudian berjaga-jaga di rumah Lo agar dia tak menjadi sasaran kerusuhan.

”Saya ini orang Solo, jadi tak perlu pergi ke mana-mana. Buat apa?” ucapnya.

Anugerah

Menjadi dokter, bagi Lo, adalah sebuah anugerah. Dia kemudian bercerita, seorang dokter di Solo yang dikenal dengan nama dokter Oen, seniornya, dan sang ayahlah yang membentuk sosoknya. Dokter Oen dan sang ayah kini telah tiada.

Lo selalu ingat pesan ayahnya saat memutuskan belajar di sekolah kedokteran. ”Ayah saya berkali-kali mengatakan, kalau saya mau jadi dokter, ya jangan dagang. Kalau mau dagang, jangan jadi dokter. Makanya, siapa pun orang yang datang ke sini, miskin atau kaya, saya harus terbuka. Saya tidak pasang tarif,” kata Lo yang namanya masuk dalam buku Kitab Solo itu.

Papan praktik dokter pun selama bertahun-tahun tak pernah dia pasang. Kalau belakangan ini dia memasang papan nama praktik dokternya, itu karena harus memenuhi peraturan pemerintah.

Tentang peran dokter Oen dalam dirinya, Lo bercerita, selama sekitar 15 tahun dia bekerja kepada dokter Oen yang dia jadikan sebagai panutan. ”Dokter Oen itu jiwa sosialnya tinggi dan kehidupan sehari-harinya sederhana,” ujarnya.

Dari kedua orang itulah, Lo belajar bahwa kebahagiaan justru muncul saat kita bisa berbuat sesuatu bagi sesama. ”Ini bukan berarti saya tak menerima bayaran dari pasien, tetapi kepuasan bisa membantu sesama yang tidak bisa dibayar dengan uang,” katanya sambil bercerita, sebagian pasien yang datang dari desa suka membawakan pisang untuknya.

Gaya hidup sederhana membuat Lo merasa pendapatan sebagai dokter bisa lebih dari cukup untuk membiayai kehidupannya sehari-hari. Apalagi, dia dan sang istri, Maria Gan May Kwee atau Maria Gandi, yang dinikahinya tahun 1968, tak memiliki anak.

”Kebutuhan kami hanya makan. Lagi pula orang seumur saya, seberapa banyak sih makannya?” ujar Lo.

Bahkan, di mata para pasien, Lo seakan tak pernah ”cuti” praktik. Lies (55), ibu dua anak, warga Kepatihan Kulon, Solo, yang selama puluhan tahun menjadi pasiennya mengatakan, ”Dokter Lo praktik pagi dan malam. Setiap kali saya datang tak pernah tutup. Sepertinya, dokter Lo selalu ada kapan pun kami memerlukan.”

DATA DIRI

• Nama: Lo Siaw Ging • Lahir: Magelang, 16 Agustus 1934 • Istri: Maria Gan May Kwee (62) • Pendidikan: – Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, 1962 – S-2 (MARS) Universitas Indonesia, 1995 • Profesi: – Dokter RS Panti Kosala, Kandang Sapi, Solo (sekarang RS dokter Oen, Solo) – Mantan Direktur Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo