SUDAH TERBIT: Prabowo Titisan Soeharto?

Oleh Femi Adi Soempeno [femi.adi@gmail.com]

Penulis buku Prabowo Titisan Soeharto? (Galangpress, 2008) dan Perang Panglima (Galangpress, 2007)

cover buku Prabowo Titisan Soeharto karya Femi Adi Soempeno

Untuk ukuran luar negeri, daya tahan dan kelangsungan hidup (survivability) Presiden Soeharto, termasuk prestasi langka. Oleh sebab itu prestasinya setara dengan pemimpin-pemimpin dunia yang memerintah sangat lama seperti Presiden Kuba Fidel Castro, Presiden Irak Saddam Hussein, Pemimpin Libya Muammar Khadafy, jika menyebut beberapa contoh.

Koran The Washington Post di tahun 1998 pernah menulis, “Sebagai orang kuat Indonesia selama 32 tahun terakhir, Soeharto membawa negaranya yang luas dari kemiskinan besar-besaran menjadi lumayan sejahtera. Tahun-tahun pertumbuhan ekonomi tinggi yang mantap nampaknya menjadikan jenderal purnawirawan itu cocok menyandang gelar Bapak Pembangunan.”

Menarik menyimak pendapat Gerry van Klinken yang dimuat harian Melbourne Age edisi 20 Mei 1998. Dalam tulisan itu ia bukan menyajikan berbagai skenario tentang apa yang akan terjadi pada era pasca-Soeharto berdasarkan pemahamannya yang luas tentang Indonesia, tapi juga berhasil meramalkan pengunduran diri Presiden Soeharto. Ia mengatakan, sekalipun Soeharto mundur namun pengaruhnya masih kuat. “Akankah pengunduran diri merupakan akhir? Belum tentu.””

Warisan Orde Baru yang layak dipertahankan adalah stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi demi kesejahteraan rakyat. Tentu plus reformasi total seperti yang dikehendaki mahasiswa. Juga pasti didasarkan pada konstitusi. “Rakyat Indonesia akan memperoleh kesempatan untuk menjatuhkan pilihan sesuai konstitusi. Tentu saja segenap rakyat akan menyambut baik gagasan pemilu,” kata Menlu Malaysia Abdullah Badawi.

Apa pun yang akan terjadi selanjutnya, gejolak politik belakangan ini telah menularkan “pelajaran Indonesia” (lesson from Indonesia) ke wilayah Asia Tenggara. Dan dunia internasional masih menunggu, bertanya-tanya, setelah Soeharto mundur, setelah Presiden Habibie melantik Kabinet Pembangunan Reformasi, apa yang akan terjadi selanjutnya, what’s next?

Salah satu pemahaman dunia internasional mengenai Indonesia adalah budaya politik patron-client, sebuah prinsip yang sederhana, yang berakar kuat pada masyarakat. Kalau pemimpinnya jujur dan hidup sederhana, maka gubernurnya, camatnya, lurahnya, sampai rakyatnya akan meniru sikap pemimpinnya itu. Mungkin itulah yang ditunggu-tunggu pelaksanaannya oleh rakyat maupun dunia internasional.

Namun, agaknya Indonesia memang tengah direpotkan dengan pemilihan model pemimpin di masa transisi. Kendalanya dua hal, yaitu transisi politik terjadi tanpa dukungan rezim yang masih berkuasa, tetapi juga tanpa dukungan kekuatan demokratis yang kuat. Hasilnya, sebuah perangkap yang nyaris permanen. Rasanya sulit sekali bergerak ke arah yang lebih baik, meskipun itu bukan hal yang mustahil.

Dus, saat ini menjadi pemimpin nasional dalam menjadi tidak mudah. Harapan yang digantung rakyat terlalu besar untuk dipikul seorang pemimpin, yang tidak dikonstruksikan secara sosial untuk menjadi pemimpin. Bisa jadi, dikotomi antara militer dan sipil tak lagi penting. Sebaliknya, yang lebih penting adalah mengharapkan adanya pemimpin panutan, apapun latar belakangnya.

Di satu sisi, rakyat menginginkan pemimpin yang kuat yang mampu menyelesaikan masalah, tetapi rakyat juga takut dia menyalahgunakan kekuasaan. Rakyatingin presiden yang menyatu dengan rakyat, tetapi juga bisa mengambil tindakan-tindakan visioner. Rakyat ingin presiden yang mengatasi semua golongan, tetapi kantor presiden dipenuhi masalah dan pikiran yang sarat kepentingan.

Rakyat menginginkan pemimpin yang mempersatukan, tetapi tiap keputusan harus selalu bisa memenangkan satu pihak dan mengalahkan pihak lain. Rakyat ingin presiden yang punya program jelas dan sistematis, tetapi juga tanggap pada suara-suara rakyat yang sama sekali tak peduli pada program yang jelas dan sistematik itu.

Hanya saja, publik tak bisa menutup mata terhadap kuatnya minat mereka sendiri terhadap calon pemimpin nasional berlatar belakang militer pada pemilihan presiden dan wakil presiden 2009. Menurut peneliti senior The Habibie Center, Indria Samego, hal ini bisa terjadi lantaran di kalangan sipil dan sebagian elite politik sendiri masih terdapat inferioritas, khususnya ketika berhadapan dengan orang atau tokoh dengan latar belakang militer.

“Paling tidak pada Pemilihan Presiden tahun 2009 keadaan seperti itu masih akan terjadi. Sikap (inferior) akibat pemerintahan Orde Baru, yang disokong sepenuhnya kekuatan militer, berkuasa terlalu lama sehingga masih ada orang yang berpikir militer paling kompeten,” ujar Indria.Selain itu, masyarakat, menurut Indria, juga masih memercayai institusi militer karena lebih merepresentasikan kemampuan menciptakan stabilitas. Hal itu karena sebagai institusi mereka jauh lebih efektif dan tidak berideologi tertentu seperti pada partai politik.

Sisi negatifnya, sikap inferior masyarakat dan sebagian kalangan elite politik tadi justru memicu perasaan superior atau arogan di kalangan mantan militer. Akibatnya kemudian pernah muncul pernyataan kalau purnawirawan TNI itu masih dianggap sebagai kader terbaik.

Akan tetapi, kondisi seperti itu, tidak bisa lantas diterjemahkan orang berlatar belakang militer memang jauh lebih mampu daripada tokoh dari kalangan sipil. Hal itu masih harus dibuktikan terlebih dahulu. Untuk sementara waktu pembuktian seperti itu dinilai masih sulit. Apalagi, dari sejumlah calon yang telah disebut sebagai bakal calon presiden maupun wakli presiden di hajatan lima tahunan pada 2009 tak ada wajah baru.

Belakangan ini memang muncul nama Sutiyoso. Namun, mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga tidak dapat disebut tokoh baru. Bahkan, dalam karier militer dan usia, dia lebih senior dibandingkan dengan Presiden Yudhoyono. Ketika menjadi Pangdam Jaya pada tahun 1996-1997, Sutiyoso yang merupakan lulusan Akademi Militer Nasional (AMN) tahun 1968 ini bahkan pernah menjadi atasan Yudhoyono yang merupakan lulusan AMN tahun 1973.

Sultan Hamengku Buwono X yang mulai disebut juga tidak dapat sepenuhnya disebut tokoh baru karena kemunculannya sudah terlihat sejak hiruk pikuk reformasi tahun 1998. Keresahan tentang belum adanya tokoh baru ini muncul karena untuk bidang lain, seperti bisnis dan pendidikan, sudah banyak muncul muka baru yang umumnya muda. Bahkan, mereka mulai menguasai rongga opini di sejumlah media.

Kerinduan terhadap munculnya tokoh baru makin menguat karena kehadiran mereka juga akan merepresentasikan harapan baru di masyarakat. Harapan baru ini menjadi penting karena tokoh-tokoh lama yang sekarang masih muncul lagi itu ketika berkuasa ternyata kurang berhasil mewujudkan agenda reformasi. Ini terlihat dari perjalanan demokrasi yang masih tertatih-tatih dan ekonomi yang belum juga membaik.

Jika ingin lebih jujur pada diri sendiri, beberapa partai politik saat ini sebenarnya sudah memiliki tokoh-tokoh baru yang masih muda dan berpikiran ke depan. Mereka, misalnya, Budiman Soedjatmiko di PDI-P atau Dradjat Wibowo dari Partai Amanat Nasional. Tokoh yang berada di luar partai juga banyak, seperti Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan atau Direktur Eksekutif ReformInstitut Yudi Latif.

Namun, Qodari bilang, tokoh-tokoh muda itu masih belum memiliki jalan untuk tampil ke depan. Dengan demikian, dia mengangankan adanya koalisi baru dari berbagai kalangan dengan sebuah konsensus, yaitu memberi kesempatan seluas-luasnya kepada berbagai anak muda untuk tampil.

Sementara itu, Indra Jaya Piliang dari Centre for Strategic and International Studies mensinyalir, belum munculnya nama baru dari kalangan anak muda ini juga dikarenakan kurang gigihnya mereka untuk merebut posisi yang ada. Bahkan, Indra menilai keaktifan gerakan orang muda sekarang jauh berkurang jika dibandingkan dengan tahun 1999-2004.

Akan tetapi, Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia Denny JA berpendapat, sulitnya memunculkan tokoh muda lebih disebabkan oleh sistem politik kita yang masih mementingkan popularitas dibandingkan dengan faktor lain, seperti kompetensi. “Dalam pemilihan langsung di Indonesia, mereka yang akan memenangi persaingan adalah yang dikenal, disukai, dan dianggap pantas oleh para pemilih,” kata dia.

Jajak pendapat sudah digelar oleh beberapa lembaga. Salah satunya dari Lembaga Kajian dan Survei Nusantara (LAKSNU). Hasilnya, SBY dan Megawati Soekarnoputri berpotensi saling berhadapan (head to head) dalam kenduri demokrasi 2009. Hitungan diatas kertas, jika dipasangkan saling berhadapan pada pemilihan presiden 2009 maka SBY lebih unggul daripada Megawati dengan mendapatkan 40,8% suara dari responden. Sementara Megawati mendapatkan 35,1%.

Sementara itu, dalam hasil jajak pendapat yang dilaksanakan LAKSNU tersebut hampir tidak ada wajah baru yang diunggulkan sebagai calon pemimpin masa depan. Jajak pendapat yang melibatkan 1.000 responden dari seluruh wilayah tanah air kecuali Papua itu, menunjukkan 10 orang paling dikenal masyarakat- berurutan dari posisi teratas hingga terbawah, yaitu Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, Amien Rais, Jusuf Kalla, Abdurrahman Wahid, Akbar Tanjung, Siti Hardiyanti Rukmana, Wiranto, Rahmawati Soekarnoputri, dan Agum Gumelar.

Dalam survei tersebut, nama Prabowo Subianto menjadi satu dari sebelas tokoh yang dikenal masyarakat disamping Sri Sultan Hamengkubuwono X, Sutiyoso, Yusril Ihza Mahendra, Hasyim Muzadi, Agung Laksono, Hidayat Nurwahid, Aburizal Bakrie, Salahuddin Wahid, dan Adang Daradjatun. Memang, nyaris belum ada wajah baru sebagai tokoh yang tergolong populer. Tapi tetap saja, peremajaan kepemimpinan itu harus dirawat meski tidak harus dipaksakan pada 2009.

Hingga saat ini, belum ada tanda-tanda yang muncul Prabowo bakal menggunakan nama besarnya untuk mencalonkan kembali pada pemilu 2009 usai kegagalannya dalam konvensi Golkar pada pemilu 2004 lalu. Tetapi, tahun ini bakal menjadi tahun pijakan bagi Prabowo untuk mencermati peta politik nasional untuk merencanakan ikut tidaknya pada kenduri demokrasi 2009.

Barangkali Anda ingat, dalam sebuah iklan pemilu 2004, Prabowo ‘menunggangi’ kesejahteraan, stabilitas maupun keamanan di jaman Orde Baru. Ia berujar, “Biarkan sang macan kembali mengaum …” Dan publik pun terhenyak. Prabowo muncul menjadi sosok yang ingin mengembalikan Indonesia sebagai salah satu macan di Asia di bidang ekonomi. Jika ini disebut sebagai sebuah pemanis di masa kampanye, ia seperti tengah menularkan harapan akan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan kepemimpinan yang kuat itu dalam figur dirinya yang notabene adalah ‘jebolan tentara’.

Mengintip track record Prabowo, ia memiliki banyak kesamaan dengan Soeharto yang begitu mulus menapaki karir di bidang militer. Bisa jadi, karena ia adalah menantu orang nomor satu di Indonesia, ia mengantongi tiket emas untuk perjalanan karirnya yang mengantarkannya menduduki kursi Panglima Kostrad. Bahkan, baik Soeharto maupun Prabowo bisa mengemas karir politik mereka di waktu dan momentum yang tepat sehingga penampilannya dengan mudah dikenal oleh publik.

Selama menjabat sebagai presiden, Soeharto menabung simpati dari rakyat. Salah satunya melakukan kunjungan ke daerah-daerah dan berbincang dengan masyarakat setempat. Cara yang serupa juga dilakukan oleh Prabowo. Menjabat sebagai Ketua Umum HKTI periode 2004-2009 menggantikan Siswono, Prabowo jadi lebih sering ‘jalan-jalan’. Seperti halnya Soeharto dengan gayanya yang khas, sepertinya Prabowo menuai sukses merebut simpati dari rakyat di pedesaan.

Salah satu cara Prabowo adalah membikin guyonan yang sempat dilontarkan di Agrotechnopark Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Prabowo sempat berkelakar bahwa ia kini menjadi panglima-nya petani. Menurutnya, antara TNI dan tani sebenarnya hanya beda di huruf “A” saja. Meskipun demikian, sesungguhnya keduanya menghadapi masalah yang sama, yaitu menjaga kemerdekaan. “Sebetulnya masalah petani adalah masalah kemerdekaan. Bagaimana kita mau merdeka bila lapar,” kata Prabowo. Menurutnya, petani dan prajurit menangani hal yang strategis. Pertanian merupakan bidang yang strategis karena menghasilkan pangan.

Di ladang ini, Prabowo memang tampak bekerja sepenuh hati. Barangkali sebabnya karena kelakar yang ia selorohkan sendiri, yaitu tipisnya perbedaan TNI dan Tani, yaitu hanya beda pada huruf A-nya saja. Jadi, gagal menjadi Panglima TNI, menjadi Panglima Tani tak masalah kan? Guyonan, kunjungan ke daerah-daerah, rasa simpati, kepedulian, bumbu janji sebagai pemanis, agaknya menjadi salah satu cara untuk menjadi populer. Dan ini ditempuh oleh Soeharto maupun Prabowo.

Meski ‘dibesarkan’ di lingkungan Cendana, Prabowo tetap membungkus dan mempertahankan sikap politiknya sendiri. Misalnya saja ketidaksetujuannya atas penjualan aset negara ke pihak asing, khususnya penguasaan aset-aset negara yang vital.

“Setelah Indosat, lalu diumumkan BNI 46 akan dijual ke pihak asing. Dulu, kakek saya, almarhum Margono Djojohadikusumo, diperintahkan Bung Karno dan Bung Hatta untuk mendirikan bank milik Indonesia yang pertama dan sekarang akan dijual. Artinya, telekomunikasi dijual dan bank-bank juga dijual. Kita akan jadi kacung di negara kita sendiri,” serunya.

Bagi Prabowo, eElite politik telah mengkhianati rakyat. Penjualan aset bangsa yang didiamkan oleh elite merupakan sikap pengkhianatan elite terhadap rakyat. Kondisi bangsa yang berada di ujung kebangkrutan sebagai bangsa dan di ujung disintegrasi dianggap elite seolah Indonesia masih berjalan normal.

Berkaitan dengan kehidupan demokrasi di negeri ini, Prabowo bilang, seharusnya semua pihak membiarkan demokrasi berjalan. Demokrasi jangan dibuat tidak berjalan dengan kehadiran mental maling dan kepentingan jangka pendek. Ia mengingatkan, risikonya mengkhawatirkan dan akan menimbulkan perasaan putus asa rakyat jika demokrasi gagal. “Kalau putus asa, rakyat bisa terbawa oleh radikalisme kiri atau kanan, atau demagog (penghasut) yang menggunakan fanatisme agama, suku, ataupun yang lain. Kalau demokrasi tidak bisa menghasilkan lapisan pemimpin yang kuat dan bersih dan hanya memunculkan koruptor, maka demokrasi gagal. Kalau eksperimen demokrasi gagal, maka yang muncul orang yang terus-menerus memanfaatkan permainan korup,” katanya.

Hanya saja, sedikit berbeda dengan mertuanya, nama Prabowo tidak pernah disebut-sebut sebagai koruptor di negeri ini. Karenanya, saat kampanye konvensi Golkar 2004 lalu, dengan tegas ia menyerukan pemberantasan korupsi besar-besaran. Korupsi di negeri ini sudah membahayakan. Apa-apa main sogok. Kita jadi bangsa tukang sogok. Ini harus diubah,” tegasnya.

Asal tahu saja, saat pemilu 2004 lalu Prabowo memang terbilang ‘nekat’ bertarung dalam konvensi calon presiden Partai Golkar. Padahal, namanya dipersepsikan oleh media begitu buruk. Ia pernah dituduh sebagai pengkhianat. Ia juga pernah dituduh akan melakukan kudeta. Oleh gerakan prodemokrasi ia disebut sebagai monster. “Lengkap sudah tuduhan untuk saya,” katanya.

Mencoba bersabar dengan keadaan, Prabowo pun belajar dari lingkungan di sekitarnya, termasuk Soeharto. Ia menjumput prinsip becik kethitik ala ketara, yang berarti biarlah waktu nanti yang akan menilai. Ia pun kemudian mengutip kode etik di lingkungan TNI yang menyebutkan bahwa seorang prajurit TNI harus patuh, setia, taat, dan tidak sepatah pun membantah perintah atasan. Seorang prajurit TNI pun dituntut untuk menjaga rahasia tentara dan sebagai atasan tak boleh menyalahkan anak buah. Etika itu dipegang Prabowo dengan tidak secara langsung menjawab tuduhan kepadanya.

Bak lagu klasik atau alasan jamak yang bisa dijumpai pada purnawirawan yang menerjunkan diri ke dunia politik, ayah satu anak ini terpanggil untuk terjun ke dunia politik setelah melihat keadaan Indonesia di masa reformasi. Ia mengakui demokrasi maju, kebebasan pers dan kebebasan berekspresi muncul pada era reformasi. Namun, kehidupan bernegara bisa mengarahkan ke disintegrasi sosial maupun fisik. Ia mengetahui banyak bagaimana legislatif bekerja, ia memahami bagaimana yudikatif memainkan peran, ia sangat mengerti dampak dari desentralisasi di tingkat kabupaten.

Dus, sebagai pengusaha yang pernah bertugas di TNI, jiwa patriotnya tumbuh untuk menyelamatkan bangsa. Ia pun memutuskan untuk terjun ke dunia politik. “Negara ini amat kaya, hanya sekarang bagaimana me-manage-nya,” ujar Prabowo yang sangat fasih berbicara soal program-program ekonomi.

Jika Prabowo mencalonkan diri pada pesta demokrasi 2009 nanti, setidaknya menunjukkan proses pemulihan kepercayaan diri keluarga Cendana dan para pendukungnya. Meski Prabowo sudah ditendang dari keluarga Cendana, namun namanya tidak akan pernah bisa lepas dari Soeharto. Kegagalannya di pemilu 2004 bisa jadi sebuah energi untuk membabat lawan politiknya di tahun 2009.

Beberapa program yang mendek selama satu dasawarsa usai pemerintahan Soeharto tak urung membawa wabah SARS alias Saya Amat Rindu Soeharto. Peredaran wabah ini begitu kuat di daerah pedesaan, juga kalangan yang mengalami penggusuran, bencana alam, dan medan-medan pengungsian.

Disinilah Prabowo akan muncul sebagai orang yang cukup netral ketimbang Tutut –jika putri sulung Soeharto ini juga kembali diusung oleh Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) pimpinan Jenderal (Purn) R Hartono. Mengapa netral? Pertama, ia sudah ‘dibuang’ dari keluarga Cendana lantaran tudingan pengkhianatan terhadap Soeharto yang dilayangkan kepadanya pada tahun 1998. Kedua, gaya dan mozaik dalam kehidupannya mampu mengambil hati bagi perwujudan mimpi-mimpi kaum miskin Indonesia yang terus terpinggirkan selama krisis dalam sepuluh tahun terakhir ini.

Bila Prabowo muncul di laga politik pada 2009, bisa jadi ia mengeluarkan kembali jurus-jurus dan program-program populis. Misalnya saja program pembangunan lahan pertanian sejuta hektar, perumahan murah, anti penjualan aset negara, dan pupuk dan harga gabah murah untuk petani. Isu ini sudah digenderangkan sejak pemilu 2004, hingga saat Prabowo menduduki kursi Ketua Umum HKTI. Kalau diingat, program seperti itu adalah ciri-ciri yang pernah menjadi ikon Soeharto.

Kemunculan Prabowo sejak pemilu 2004 sudah bisa diraba-raba sebagai jalan untuk mengembalikan takhta kekuasaan politik Indonesia dari keluarga Cendana. Sandungan Prabowo sejak lima tahun silam adalah pelanggaran hak asasi manusia atas penculikan sejumlah aktivis pada tahun 1998. Tidak sedikit pihak yang anti-Prabowo, namun tidak sedikit pula yang menyokongnya sebagai capres pada 2004 lalu.

Ada atau tidak ada Prabowo dalam ajang demokrasi 2009 nanti, titisan Soeharto sudah bisa dirasakan sejak kemunculannya pada tahun 2004. Atau, jika mau sedikit berlebihan, ‘bau’ Soeharto pada diri Prabowo sudah mencuat sejak ia menorehkan catatan panjang pada sejarah politik Indonesia, yaitu saat ia memegang tiket emas dalam perjalanan karir militernya.

Bisa jadi, kunjungan Prabowo ke RSPP saat Soeharto sakit, adalah sebuah permohonan restu untuk nyalon di kenduri demokrasi 2009.

11 responses to “SUDAH TERBIT: Prabowo Titisan Soeharto?

  1. Bambang Tri Handoyo

    TNI back to barrack, Tani Back to sawah, Guru Back to School, ………Back to………. ………….back to…….. ……..Back to……… ……..Back to……… ……..Back to……… ……..Back to……… ……..Back to……… ……..Back to……… ……..Back to……… ……..Back to……… ……..Back to……… ……..Back to……… ……..Back to……… ……..Back to……… ……..Back to……… ……..Back to……… ……..Back to……… ……..Back to……… ……..Back to……… ……..Back to……… ……..Back to……… ……..Back to……… ok

  2. Maju Terus PRABOWO, tunjukan pada dunia bahwa bangsa ADALAH BANGSA BESAR. saat ini negara ini butuh pemimpin yang berjiwa seperti GAJAH MADA, DAN harapan kami engkaulah titisanya.
    maju terus…. kami dukung dan siap menjadi pembela utama.

    PRABOWO HARAPAN RAKYAT……..
    PRABOWO SATRIA SEJATI…..

  3. prabowo titisan gajah mada….
    maju terus ….
    rakyat mengharapkan kepemimpinanmu…

  4. prabowo engkau pantas pimpin bangsa ini. bangsa ini besar, kaya, sejahtera. maka untuk itu majulah jadi pemimpin, tumpaslah pemecah belah NKRI satukan jiwa, raga untuk menjaga keutuhan negara ini. uruslah rakyatmu ini agar hidup layak didunia internasional. semoga sukses. amin.

  5. Maju terus prabowo, i am support u….

  6. ada bagi2 buku prabowo titisan soeharto gratis ga? heheheh… lagi butuh buku2 prabowo buat skripsi niii… klo mau beli smua kebanyakan =D duitnya siapa… kuliah amhal, buku mahal. hahahha… malah curhat colongan

    • Silakan datang ke Bagian Penjualan Galangpress di Gedung Galangpress Center lt. 1, Jl Mawar Tengah 72 Baciro, Jogja, telp 554985 dgn Sdri Fitri. Kami akan berikan diskon khusus untuk Anda, terutama untuk kepentingan studi.

      Salam,
      galangpress

  7. MAJU TERUS PA PRABOWO,BANTU RAKYAT ,GIMANA RAKYAT BISA MAKAN DENGAN KENYANG SEPERTI JAMAN PA HARTO DULU

  8. SAYA YAKIN BAPAK BISA MELANJUTKAN CITA CITA PA HARTO,HIDUP PETANI,PERHATIKAN PERTANIAN PA,INDONESIA BUTUH PEMIMPIN YANG CINTA AKAN PERTANIAN KENAPA JAMAN PA HARTO DULU KITA BISA SWASEMBADA PANGAN TAPI SEKARANG RAKYAT MAU MAKAN SUSAH BANGET HARGA BERASMAHALLL,DULU MANA ADA RASKIN MAANAA ,INDONESIA KU DULU SUBUR GEMA RIPA LOH JINAWI MANANNANNANA

  9. mas prabowo, ksatria yang bisa diharapkan bangsa untuk mempersatukan wilayah NKRI, keturan begawan ekonom pemerhati orang bawah, rangkulah para jendral purnawirawan maupun aktif untuk menjaga rakyat ini bersatu, saatnya anda mengumumkan pada dunia bahwa indonesia negara besar, kuat, jaya.

  10. kalau prabowo yang jadi presiden mega hanya akan jagi bayang bayangnya

Leave a reply to sueb Cancel reply